Ahmad Baihaqi adalah alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Dialah si pemilik kios. Meski masih 27 tahun, dia adalah ”bos” usaha pertanian beromzet puluhan juta rupiah per bulan tersebut.
Usaha pertanian itu tidak diperoleh dengan mudah. Awal lulus kuliah pada 2013, Baihaqi tidak ujug-ujug membuka usaha. Sebagaimana sarjana lain, dia melanglang buana mencari pekerjaan. Incarannya adalah perusahaan mentereng di bidang pertanian. Sebut saja PT Petrokimia Gersik, PT Pupuk Kaltim Indonesia, PT Pupuk Sriwijaya, dan PT Pupuk Kujang.
”Enam kali bolak-balik ke Jakarta cari kerja,” katanya. Selama hampir setahun, Baihaqi rela bolak-balik dari Gresik ke ibu kota demi memenuhi panggilan interview kerja. Sayang, tidak satu pun perusahaan memberikan kesempatan kepada mantan penerima beasiswa United Tractors tersebut.
Pada Desember 2013, sang ayah, Nachrowi, jatuh sakit. Baihaqi dan saudaranya harus bergantian menjaga sang ayah di rumah sakit. Semangat mencari kerja pun kendur. ”Bingung. Tidak bisa meninggalkan abah,” ujarnya. Sejak saat itu, Baihaqi mulai berpikir mendirikan usaha. Berbekal ilmu pertanian, dia memilih usaha di bidang tersebut. ”Sayang kalau ilmu selama kuliah tidak dipakai,” tuturnya.
Bermodal Rp 5 juta, Baihaqi berusaha membuat salah satu produk pupuk cair. Meski bukan produk terkenal, dia yakin bisa memasarkannya. Baihaqi berbisnis ala prajurit di medan tempur. Dia bergerilya ke berbagai kota di Jawa Timur. Mulai Pasuruan, Probolinggo, Malang, Jombang, Mojokerto, Lamongan, hingga Jember. Hampir semua kota di Jatim pernah dijelajahi.
Setiap pekan, Baihaqi berkeliling ke sejumlah kota. Tekadnya keras. Di punggungnya, selalu ada ransel hitam berisi satu jeriken kecil pupuk cair. Tujuan utamanya, menemui petani di daerah-daerah. Bagaimana hasilnya? Tidak sedikit petani yang menolak. Selain tergolong produk baru, pupuk cair Baihaqi dianggap kurang berkhasiat. ”Bahannya organik. Reaksinya lama. Tidak seperti pupuk kimia yang cepat bereaksi,” terangnya.
Penolakan para petani tidak menyurutkan semangatnya. Pemuda kelahiran 28 November 1990 itu berusaha memasarkan pupuknya melalui marketplace online. Baihaqi mengaku kalah jauh jika harus bersaing dengan perusahaan pupuk raksasa di Kota Pudak dalam pemasaran konvensional.
Nah, respons pasar online memberikan angin segar. Satu per satu pesanan pupuk berdatangan dari kota di luar Jawa. Mulai Medan, Samarinda, Bengkulu, hingga kota-kota di Nusa Tenggara Timur (NTT). ”Hasil order online lumayan,” ucapnya.
Pasar konvensional perlahan mengikuti. Beberapa pesanan dari luar kota mulai berdatangan. Salah satunya adalah petani Kabupaten Lamongan sebagai pasar andalannya. Baihaqi mulai membentuk jaringan. Mulai teman-teman alumni hingga rekan bisnis baru. Seiring dengan berjalannya waktu, jaringannya makin luas. ”Mulai buka toko kecil-kecilan di garasi rumah,” ungkapnya.
Di tengah perjalanan, muncul batu sandungan yang berujung pada masalah hukum. Saat itu, Baihaqi bersiap mengirim barang ke Kabupaten Lamongan. Oleh seorang sahabatnya, dia diminta memberikan nota kosong. Tanpa punya pikiran negatif, Baihaqi memberikannya. Tidak disangka, nota kosong tersebut berujung sial. ”Yang di-mark up bukan harga. Melainkan jenis dan item barang. Jadi, ada tambahan beberapa barang yang seharusnya tidak ada di nota,” paparnya.
Sejak saat itu, dia lebih berhati-hati. Sebab, kasus tersebut berdampak pula pada penjualan pupuk cair yang selama ini dirintis. Meski sempat goyah, dia tidak pesimistis. Pada 2015, dia mendirikan toko di sebelah rumah, Desa Menganti, Kecamatan Menganti.
Baihaqi mulai membuka pikiran. Pupuk organik bukan satu-satunya jalan untuk mengais rezeki. ”Dulu masih idealis. Sekarang mulai open minded ke produk lain. Kalau ada peluang, harus dimaksimalkan,” lanjutnya. Kepada konsumennya yang rata-rata adalah petani, Baihaqi ”hobi” memberikan edukasi. Ada beberapa konsumen yang segan karena hanya bertanya, tapi tidak beli. ”Sebenarnya tidak masalah,” jelasnya.
Menurut dia, background pendidikan maupun pengalaman organisasi cukup penting. Misi utamanya harus bisa mengedukasi masyarakat. Konsumen harus senang dan lebih puas. ”Jadi, tidak hanya jual produk, dapat uang, selesai,” terangnya.
Julaikah, petani jagung asal Domas, Kecamatan Menganti, mengaku kerap diberi pengarahan ketika memilih produk pertanian. Menurut dia, banyak ilmu baru yang diperoleh. ”Bisa dapat konsultasi gratis,” tuturnya.
Hingga kini, Baihaqi sering menerima order dari luar pulau. Baru dua tahun berjalan, omzet yang didapat dari kios miliknya mencapai Rp 80 juta per bulan. ”Kuncinya, harus mau bekerja keras dan siap berkompetisi,” pungkas Baihaqi.