Kebudayaan Suku Baduy
Pendahuluan
Indonesia, tanah air tercinta memiliki kebudayaan yang melimpah. Lebih dari 13000 suku bangsa tersebar dari ujung barat Sabang sampai ujung timur Merauke. Masing – masing suku bangsa memiliki kebudayaan dan keunikan sendiri, dari pakaian adat, rumah adat, norma, dan kepercayaan semua berbeda satu sama lain. Salah satunya yang akan dibahas adalah Suku Baduy.
Secara geografis wilayah Baduy terletak pada koordinat 6°27’27” LS - 6°30’0” LS dan 108°3’9” BT - 106°4’55” BT, dan secara administratif wilayah Baduy termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidimar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Karena tinggal di desa Kanekes, suku Baduy sering disebut pula urang Kanekes (orang Kanekes).
Secara topografi daerah Baduy terdiri atas bukit-bukit dengan kemiringan lereng hingga mencapai rata-rata 45%, sedangkan keadaan tanahnya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pegunungan vulkanik disebelah utara, endapan tanah pegunungan sebagian tengah, dan dibagian selatan berupa campuran pegunungan vulkanik dengan endapan yang menjulang tinggi. Luas wilayah Baduy meliputi 5.101,85 ha, secara umum dibagi menjadi tiga macam tata guna lahan, yakni lahan usaha pertanian, lahan hutan tetap, dan permukiman. Lahan usaha pertanian merupakan bagian terbesar dalam penggunaan lahan di wilayah Baduy, yakni seluas 2.585,29 ha atau 50,67%. Lahan ini terdiri atas lahan yang ditanami / diusahakan seluas 709,04 ha dan lahan yang tidak ditanami (bera) seluas 1.876,25 ha. Lahan permukiman merupakan bagian yang terkecil, hanya meliputi 24,50 ha atau 0,48%. Adapun sisanya seluas 2.492,06 ha atau 48,85%, merupakan hutan tetap sebagai hutan lindung yang tidak boleh digarap dan dijadikan lahan pertanian (Suparmini: 2013: 14).
Bahasa yang digunakan masyarakat Baduy adalah sunda wiwitan. Suku Baduy dikelompokkan menjadi tiga yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Tangtu disebut juga Baduy dalam, yaitu kelompok masyarakat yang paling menjaga dan mengikuti adat. Ciri khas dari masyarakat Baduy dalam ini adalah cara mereka berpakian, yaitu menggunakan pakaian berwarna putih alami dan biru tua yang dilengkapi ikat kepala berwarna putih. Panamping disebut juga Baduy luar, kelompok masyarakat ini tinggal di berbagai kampung yang mengelilingi wilayah Baduy dalam. Ciri khas masyarakat Baduy luar adalah memakai pakaian dan ikat kepala yang berwarna hitam. Dangka kelompok masyarakat yang tinggal di luar wilayah Kanekes. Kampung ini memiliki peran untuk menyaring pengaruh-pengaruh budaya dari luar Desa Kanekes.
Kehidupan suku baduy merupakan salah satu contoh kehidupan budaya yang masih murni. Budaya mereka tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman modern. Mereka hidup dengan nilai-nilai budayanya sendiri, seperti kehidupan sehari-hari, kepercayaan, dan hubungan sosial. Dalam berbagai kehidupan, suku Baduy sudah mempunyai adat dan peraturan tertentu dalam mengatur masyarakatnya. Mereka mempunyai tata pemerintahan sendiri. Dalam bidang hukum sudah ada peraturan bagi yang melanggar, baik hukuman ringan maupun berat. Selain itu, ada ketentuan adat yang bila dilanggar akan kuwalat dan bencana bisa menimpa orang Baduy sendiri. Keyakinan orang suku Baduy adalah Sunda Wiwitan.
Kepecayaan masyarakat suku Baduy adalah pemujaan kepada arwah nenek moyang. Sementara mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah bertani padi huma. Kehidupan masyarakat suku baduy tidak terpengaruh dunia luar karena jauh dari peradaban perkotaan dan kemajuan teknologi. Meskipun demikian, masyarakat suku baduy yang hidup sederhana ini dapat hidup tenteram dan nyaman.
Tata Pemerintahan
Tata Pemerintahan suku Baduy dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut puun. Puun dipimpin oleh tiga orang. Sementara itu, adat kepemerintahan dipimpin oleh jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaru tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertugas melaksanakan hukum adat warga. Jaro dangka mengurus tanah titipan para leluhur. Jaro pamarentah bertugas menghubungkan suku Baduy dengan pemerintah nasional. Dalam tugasnya, jaro pamarentah dibantu oleh panggiwa, carik, dan kokolot lembur (tetua kampung) (Subagio: 2013 : 110).
Puun dianggap pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhan. Dalam kesatuan puun tersebut terdapat senioritas yang ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan. Puun memiliki kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada dibawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya.
Bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan berasal dari keturunan para Puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam pamerintahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat. Perbedaan peran yang mendasar antara pemimpin yang disebut puun dan yang disebut jaro, adalah tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib, sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi (Suparmini: 2013: 15).
Aktivitas Ekonomi
Aktivitas utama masyarakat Baduy untuk menunjang kehidupan perekonomiannya adalah dengan bertani. Mereka menggunakan sistem perladangan dalam aktivitas pertaniannya. Menurut masyarakat Baduy sistem berladang yang mereka kerjakan sesuai dengan kepercayaan serta ideologi hidup mereka, yaitu untuk tidak membuat perubahan secara besar-besaran pada alam, karena justru akan menimbulkan ketidakseimbangan alam. Dengan sistem berladang mereka tidak melakukan perubahan bentuk alam, karena mereka menanam mengikuti alam yang ada. Mereka menanam padi dan tumbuhan lainnya sesuai dengan kontur lereng dan mereka tidak membuat terasering. Sistem pengairan tidak menggunakan irigasi teknis, tetapi hanya memanfaatkan hujan yang ada. Ada larangan penggunaan air sungai atau mata air untuk mengairi sawah karena ada anggapan pada masyarakat Baduy bahwa membelokkan arah sungai akan merusak keseimbangan alam. Pelaku utama aktivitas ekonomi masyarakat Baduy adalah laki-laki. Namun, perempuan juga berpartisipasi dalam bidang pertanian walaupun sifatnya hanya membantu.
Larangan-larangan yang harus dipatuhi dalam perataniannya adalah sebagai berikut:
1. Dilarang menggunakan cangkul saat mengolah tanah
2. Dilarang menanam singkong
3. Dilarang menggunakan bahan kimia untuk memberantas hama. Pemberantasan hama dan pemupukan tanaman dilakukan secara tradisional
4. Dilarang pergi ke ladang pada hari senin, kamis, dan sabtu
5. Dilarang membuka ladang di Leuweng atau hutan tutupan dan dilarang membuka lahan di hutan kampung.
Hasil pertanian suku Baduy ada yang dijual dan ada yang hanya untuk keperluan pribadi. Hasil pertanian yang berupa padi hanya untuk kepentingan sendiri, mereka tidak menjualnya. Biasanya setelah panen padi dikeringkan langsung dimasukan ke dalam lumbung padi yang disebut Leuit. Lumbung padi (leuit) terbuat dari ayaman bambu yang dirangkai dengan kayu-kayu besar dan beratapkan kirai (sabut kelapa). Setiap keluarga Baduy memiliki satu atau lebih leuit. Padi yang disimpan di lumbung dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan sehari-hari dan lebih diutamakan untuk digunakan pada saat upacara adat, seperti pernikahan atau khitanan.
Leuit merupakan milik perorangan bukan milik komunitas atau kelompok. Kebutuhan padi untuk hidup sehari-hari, maupun untuk upacara-upacara telah direncanakan bersama sehingga tidak ada keluarga yang kekurangan maupun kelebihan persediaan padi di rumah. Selain itu masyarakat Baduy tidak dapat seenaknya membuka leuit tanpa seijin pemimpin adat (Suparmini: 2013: 16).
Kecintaan Terhadap Alam
Sebagai suku terasing, masyarakat Baduy sangat kuat memegang tradisi dan adat. Yang menarik dari tradisi dan adat suku Baduy adalah kesadaran dan kecintaan mereka terhadap alam yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, mereka memiliki kearifan lingkungan. Hal itu tampak dalam perilaku mereka memperhatikan keseimbangan ekologi alam dalam segenap lingkup hidup.
Kearifan lingkungan itu mereka buktikan dengan membagi fungsi tanah menjadi tiga bagian, yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, dan hutan lindung. Pembagian itu merupakan bagian dari adat. Meskipun suku Baduy menerapkan sistem perladangan berpindah-pindah, areal hutan lindung tetap terjaga. Hutan lindung berfungsi sebagai daerah resapan air, menjaga keseimbangan dan kejernihan air di Baduy.
Kecintaan suku Baduy terhadap alam juga tercermin pada cara mereka bertani. Dalam mengolah tanah pertanian, mereka tidak mau memakai pestisida. Penggunaan cangkul, bajak, apalagi traktor, dilarang keras karena itu dapat menyakiti alam. Oleh karena itu, alat pertanian di Baduy sangat sederhana, yaitu arit, tongkat kayu untuk membuat lubang, serta ani-ani. Penggunaan irigasipun dihindari karena dapat mencemari air sungai. Dengan demikian, perladangan di Baduy hanya mengandalkan air hujan. Contoh lain kecintaan suku Baduy pada alam adalah larangan memakai sabun, baik untuk mandi maupun mencuci. Hal tersebut bertujuan agar air sungai tidak tercemar.
Keseragaman dalam Rumah Adat
Keseragaman masyarakat suku Baduy dapat terlihat dari rumah yang dibangun dengan memanfaatkan keadaan kondisi lahan yang ada. Keseragaman terlihat mulai dari pondasi hingga atap yang menggunakan bahan alami, seperti bambu, kayu, dan rotan serta ijuk atau daun pandan untuk penutup atapnya. Rumah masyarakat suku Baduy menggunakan sistem panggung.
Pembangunan rumah di kampung Baduy harus mengikuti adat yang berlaku. Seluruh rumah harus menghadap utara dan selatan serta saling berhadapan. Biasanya masyarakat suku Baduy berusaha tidak megubah atau mengolah keadaan lahannya untuk mendirikan rumah. Itu adalah salah satu cara mereka menghormati dan memperlakukan alam. Hasilnya tatanan permukiman mereka menyatu dengan alam. Setiap rumah suku Baduy berdiri mengikuti kontur atau kemiringan tanah yang menjadi keunikan dan ciri khas Kampung Baduy (Hendi Anwar dan Hafizh A Nugraha: 2013 : 51).
Norma dan Adat Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal dipusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut karuhan yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun (ketentuan atau larangan adat). Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya adalah:
1. Dilarang mengubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengolah sawah, mengatur drainase, dan membuat irigasi. Sistem pertanian padinya adalah padi ladang; pertanian padi sawah dilarang di komunitas masyarakat Baduy.
2. Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk membuat sumur, meratakan tanah untuk pemukiman, dan mencangkul tanah untuk pertanian.
3. Dilarang masuk hutan titipan (leuweung titipan) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya.
4. Dilarang menggunakan bahan kimia, seperti: pupuk, pestisida, minyak fosil, sabun, ditergen, pasta gigi, dan racun ikan.
5. Dilarang menanam tanaman budidaya perkebunan seperti: kopi, kakao, cengkeh, kelapa sawit, dan sebagainya.
6. Dilarang memelihara binatang ternak kaki empat, seperti kambing dan kerbau.
7. Dilarang berladang sendiri-sendiri, harus sesuai dengan ketentuan adat.
8. Dilarang berpakaian sembarangan. Baduy dalam berpakaian putih-putih dengan ikat kepala putih; Baduy Luar berpakaian hitam dengan ikat kepala hitam.
Mayarakat Baduy juga berpegang teguh kepada pedoman hidupnya yang dikenal dengan dasa sila, yaitu:
1. Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membunuh orang lain)
2. Moal mibanda pangaboga nu lian (tidak mengambil barang orang lain)
3. Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak bohong)
4. Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak mabuk-mabukan)
5. Moal midua ati kana nu sejen (tidak menduakan hati yang lain / poligami)
6. Moal barang dahar dina waktu nu ka kungkung peting (tidak makan malam hari)
7. Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak memakai wangi-wangian)
8. Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalam tidur)
9. Moal nyukakeun ati ku igel, gamelan, kawih, atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan tarian, musik, atau nyanyian)
10. Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas atau permata)
Dasar aturan inilah yang melekat pada diri masyarakat Baduy, menyatu dalam jiwa dan menjelma dalam perbuatan, tidak pernah tergoyah dengan kemajuan zaman. Hubungan dengan alam, hubungan antara masyarakat dengan masyarakat, hubungan antara laki-laki dengan perempuan, diatur dengan jelas dan tegas dan dipahami oleh semua masyarakat Baduy. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut berupa hukuman oleh ketua adatnya, mulai dari hukuman disuruh kerja, diasingkan ke suatu tempat atau bahkan sampai dikeluarkan dari komunitas masyarakat Baduy. (Gunggung Senoaji: 2010: 305-306).
Perkembangan IPTEK dan Dinamika Sosial Masyarakat Baduy
Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan IPTEK, serta pesatnya pengaruh dari luar, berdampak kepada masyarakat Baduy yang mulai terjadi kelonggaran terhadap aturannya. Masyarakat Baduy yang semula hanya satu komunitas akhirnya dibagi menjadi dua, yakni Baduy Dalam yang harus tetap berpegang pada aturan adat dan Baduy Luar yang sudah mulai ada kelonggaran-kelonggaran aturan adat, yang selanjutnya dikenal juga Baduy Muslim, yakni masyarakat Baduy yang keluar dari komunitasnya dan bergabung dengan masyarakat luar. Dinamika sosial budaya masyarakat Baduy yang telah terjadi dan mempengaruhi kehidupannya serta tata cara pengelolaan lahan, hutan, dan lingkungannya adalah:
1. Masyarakat Baduy Luar telah berpakaian seperti halnya masyarakat umum. Pakaian berwarna hitam-hitam hanya dipakai jika berpergian ke luar atau upacara-upacara adat.
2. Masyarakat Baduy Luar telah mengguanakan bahan dan peralatan rumah tangga buatan pabrik, seperti : piring, gelas, kasur, sabun, minyak tanah, dan sebagainya.
3. Masyarakat Baduy Luar telah mengolah lahan di luar wilayah Baduy dengan sistem bagi hasil dan atau sewa serta telah menanami bebagai jenis tanaman perkebunan seperti kakao, cengkeh, kopi, dan karet.
4. Perubahan masa bera lahan; yang semula di atas 7 tahun sekarang ini hanya 5 tahun, bahkan ada yang 3 tahun.
5. Masyarakat Baduy Luar telah menanami tanaman kayu di areal ladangnya seperti : sengon, mahoni, dan kayu afrika.
6. Masyarakat Baduy Luar telah menggunakan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi di luar wilayah Baduy.
7. Masyarakat Baduy Luar telah menggunakan paku, kayu yang dihaluskan, dan tanah yang di datarkan saat membuat rumah (Gunggung Senoaji: 2010: 309).
Simpulan
1. Suku Baduy mempunyai sistem pemerintahan yang dipimpin oleh kepala suku yang disebut puun dan kepala pemerintahan yang disebut jaro.
2. Aktivitas ekonomi utama masyarakat Baduy adalah bertani dengan sistem perladangan.
3. Rumah adat di kampung Baduy mengikuti kontur alam tanpa mengubah kontur tanah.
4. Masyarakat Baduy sangat mencintai alam dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
5. Masyarakat Baduy memiliki norma dan aturan sendiri yang berupa ketentuan-ketentuan dan memiliki pedoman hidup yang disebut dasa sila.
6. Seiring dengan perkembangan IPTEK, masyarakat Baduy Luar sedikit-sedikit mulai mengikuti perkembangan IPTEK, sedangkan masyarakat Baduy Dalam masih memegang teguh norma dan adat yang berlaku.
Daftar Pustaka
Anwar, Hendi dan Hafizh A Nurgaha. 2013. Rumah Etnik Sunda. Depok: Griya Kreasi.
Senoaji, Gunggung. 2010. Jurnal Bumi Lestari. Universitas Bengkulu.
Subagio, Apri. 2013. Go Go Indonesia: 101 Alasan Bangga Jadi Anak Indonesia. Jakarta: Cerdas Interaktif.
Suparmini, dkk. 2013. Jurnal Penelitian Humaniora. Universitas Negeri Yogyakarta.